Senin, 14 Mei 2012

BANK UNIT SYARIAH

A.   Pengertian Bank Unit Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank  adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan Bank Unit Syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Didalam Bank Unit Syariah lebih menggunakan hukum islam seperti yang di bawah ini :
1.         Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai
   pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.         Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai
  akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3.         Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang
  hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena
  tidak memiliki nilai intrinsik.
4.        Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua
   belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka
  peroleh dari sebuah transaksi.
5.        Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak
   diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh
  didanai oleh perbankan syariah.
B.   Asal Mula Bank Unit Syariah
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan nama islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Di Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. 
C.   Tujuan Bank Unit Syariah
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank kelebihan dana-dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dan debitur
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara Bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba Bank Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana.
Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan laba.
D.   Struktur Organisasi Bank Unit Syariah
Pada umumnya strukutur organisasi tiap Bank itu berbeda tergantung pada besar-kecilnya bank, keragaman layanan yang ditawarkan, keahlian personilnya dan peraturan-peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tidak ada acuan baku bagi penyusunan struktur organisasi bagi bank dalam segala situasi kebutuhan operasinya. Bank mengorganisasikan fungsi-fungsinya untuk melayani nasabahnya atau menempatkan karyawan yang ada atau karyawan baru sesuai dengan bakat dan kemampuanya. Struktur organisasi setiap bank berikut tanggung jawab dan wewenang para pejabatnya bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu struktur organisasi mencerminkan pandangan manajemen tentang cara yang paling efektive untuk mengoperasikan bank. Sejalan dengan perkembangannya fungsi-sungsi tersebut dapat dibagi-bagi dalam beberapa kegiatan. Dalam perbankan syariah, fungsi pembiayaan dapat dibagi dalam pembiayaan piutang (debt financing) berdasarkan prinsip jual-beli (murabahah, salam atau istishna), atau sewa-beli (ijarah), pembiayaan modal (equity financing) berdasarkan prinsip mudharabah (trustee financing) atau musyarakah (jount venture profit sharing). Fungsi operasi dapat dibagi dalam tellers, pembukaan rekening (opening new account), penerimaan simpanan (deposit), pemrosesan simpanan (deposit) dan layanan yang berkaitan dengan simpanan (deposit related services) seperti pemindah – bukuan, pengiriman uang (money transfer), inkaso (collections), pembayaran tagihan (bill paying) dan lain, komputer service dan akuntansi, personalia dan sundries. 

Elemen Kunci :
1.      SPESIALISASI PEKERJAAN
Spesialisasi kerja, atau pembagian kerja untuk mendeskripsikan sampai tingkat mana tugas dalam organisasi dipecah-pecah menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah. Hakikat spesialisasi kerja adalah bahwa, bukannya keseluruhan pekerjaan dilakukan oleh satu individu, seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah dengan tiap langkah diselesaikan oleh individu yang berlainan. Bahwa adanya spesialisasi pekerjaan yang dilakukan agar manajemen dalam perusahaan itu lebih mudah untuk dilakukan misalnya pada Departemen Direktorat Pembiayaan Komersial & Konsumer ada spesialisasi pekerjaan lagi menjadi Divisi Pembiayaan Kecil, Mikro & Program; Divisi Pembiayaan Konsumer; Divisi Pembiayaan Komersial cabang dan Divisi Pengembangan Produk sehingga bisa meningkatkan produktivitas kerja.
2.      DEPARTEMENTALISASI
Departementalisasi adalah pengelompokkan pekerjaan-pekerjaan sehingga tugas yang sama / mirip dapat dikoordinasikan. Salah satu cara paling popular yang dilakukan untuk mengelompokkan pekerjaan adalah menurut fungsi yang dijalankan. Keunggulan utama dari tipe pengelompokkan ini adalah tercapainya efisiensi dengan mengumpulkan spesialis yang sama. Departementalisasi fungsional mengusahakan tercapainya skala ekonomi dengan menempatkan orang dengan keterampilan dan orientasi yang sama ke dalam unit-unit bersama. Bahwa adanya Departementalisasi yang dilakukan antara lain Departemen Direktorat Pembiayaan Koperasi&Komersial; Departemen Direktorat Pembiayaan Komersial & Konsumer; Departemen Direktorat Treasury & Jaringan; Departemen Direktorat Kepatuhan & Manajemen Resiko; Departemen Direktorat Operasi & Pendukung.
3.      RANTAI KOMANDO
Rantai Komando merupakan garis wewenang yang tidak terputus yang terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor ke siapa. Rantai ini menjawab pertanyaan para karyawan seperti misalnya “Kepada siapakah saya harus pergi jika saya mempunyai masalah?” dan “Saya bertanggung jawab kepada siapa?”. Kita tidak dapat membahas rantai komando tanpa membahas dua konsep komplementer, wewenang dan kesatuan komando. Wewenang mengacu ke hak-hak yang inheren dalam posisi manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah itu dipatuhi. Asas kesatuan komando membantu mengamankan konsep garis wewenang yang tidak terputuskan.
4.      RENTANG KENDALI
Rentang kendali ini sangatlah penting, karena sangat menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus dimiliki oleh organisasi. Bila semua hal sama, makin luas atau besar rentang itu, makin efisien organisasi itu. Rentang yang kecil ada keuntungannya. Dengan menyelenggarakan rentang kendali dari tiga atau empat karyawan, manajer dapat menyelenggarakan pengendalian yang ketat. Tetapi rentang yang kecil mempunyai tiga kekurangan utama. Pertama, rentang ini mahal karena menambah tingkat-tingkat manajemen. Kedua, rentang ini membuat komunikasi vertical dalam organisasi menjadi lebih rumit. Tingkat-tingkat hierarki tambahan memperlambat pengambilan keputusan dan cenderung mengucilkan manajemen atas. Ketiga, rentang kendali yang kecil mendorong penyeliaan ketat yang berlebihan dan tidak mendorong otonomi karyawan.
5.      SENTRALISASI dan DESENTRALISASI
Sentralisasi mengacu pada sampai tingkat mana pengambilan keputusan dipusatkan pada titik tunggal dalam organisasi. Lazimnya, dikatakan bahwa jika manajemen puncak mengambil keputusan utama organisasi dengan sedikit atau tanpa masukan dari personil tingkat lebih bawah, organisasi itu tersentralisasikan. Sebaliknya, makin banyak personil tingkat lebih bawah memberikan masukan atau sebenarnya diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan makin ada desentralisasi.
6.      FORMALISASI
Formalisasi mengacu pada tingkat dimana pekerjaan di dalam organisasi itu dibakukan. Jika pekerjaan sangat diformalkan, pelaksana pekerjaan itu mempunyai kuantitas keleluasaan yang minimum mengenai apa yang harus dikerjakan, kapan harus dikerjakan, dan bagaimana seharusnya ia mengerjakannya. Di mana terdapat formalisasi yang tinggi, di situ terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak aturan organisasi, dan prosedur yang terdefinisi dengan jelas yang meliputi proses kerja dalam organisasi.
 E.    Bank Konvensional VS Bank Unit Syariah
karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Untuk lebih jelasnya maka akan diuraikan pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain:
1.       Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional. Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).
2.       Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
3.       Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
4.       Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional.
5.       Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
6.       Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
7.       Risiko Strategic
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko strategic.
8.       Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.
F.   Keuntungan dan Kelemahan Bank Unit Syariah
Kendati secara prinsip bank syariah memiliki kelebihan, namun dalam realitasnya bank syariah menghadapi beberapa kendala dan kelemahan yang memang harus diakui perlu pembenahan dan peningkatan secara kualitas dan kuantitas. Dan kelemahan yang sering dihadapi oleh Bank Unit Syariah adalah sebagai berikut:
1.        Masalah jaringan kantor layanan.
2.        Jasa layanan dan inovasi produk. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta mudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka tidak merasa punya perbedaan dengan layanan dari perbankan konvensional.
3.        Masih terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha jasa keuangan syariah [bank, asuransi, dana pensiun, reksa dana dan indeks syariah].
4.        Masih terbatasnya jaringan kantor cabang jasa keuangan syariah.
5.        Masih belum lengkapnya peraturan dan ketentuan pendukung kegiatan usaha jasa keuangan syariah seperti standar akuntansi, standar prinsip kehati-hatian, standar fatwa produk investasi syariah serta peraturan dan ketentuan pendukung lainnya.
6.        Masih terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan teknis jasa keuangan syariah.
Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain, bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities), baik secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industri manufaktur, sewa-menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank Syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk :
1.      Titipan (wadiah)
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.  Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap tergantung pada kebijakan masing-masing bank
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja
d. Tipe rekening :
1)      Rekening perorangan,
2)      Rekening bersama (dua orang atau lebih),
3)      Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
4)      Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
5)      Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan)
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
2.      Kuasi Ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahib al maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan. Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa :
·         Rekening investasi umum, dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk Investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unresrtricted investment account). Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya.
·         Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus.
·         Rekening Tabungan Mudharabah, Prinsip mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu tabungan mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah.
·         Tidak seperti bank konvensional, Bank Syariah tidak menjamin pembayaran kembali nilai nominal dari investasi mudharabah. Bank Syariah juga tidak menjamin keuntungan atas investasi mudharabah. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas investasi mudharabah tergantung pada performance dari bank, berlainan dengan bank konvensional yang menjamin keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performancenya.Investasi khusus (special investment account / mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambiil resiko atas investasi itu. (demikian beberapa keuntungan dan resiko Bank Syariah).
3.      Modal Inti
Modal ini adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari: 
a.       Modal yang disetor oleh para pemegang saham
Sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian di kemudian hari
c. Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.
 Sumber-sumber dana tersebut juga akan dialokasikan kedalam beberapa pos penggunaan dana Bank. Bank harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan. Alokasi ini mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko yang rendah
2. Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk mencapai kedua keinginan tersebut maka alokasi dana-dana bank harus diarahkan sedemikian rupa agar pada saat diperlukan semua kepentingan nasabah dapat terpenuhi.
Alokasi penggunaan dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
(1) Earning Assets (aktiva yang menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan)
Earning Assets adalah berupa investasi dalam bentuk:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah)
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah)
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al Bai’)
d. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah Muntahiah bi Tamlik)
e. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya.
Bank Unit Syariah pun memiliki beberapa jasa lainnya antara lain adalah :
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
1.      Jasa Peminjaman Dana
a. Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
b. Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture.
c. Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut.
2.      Jasa Penyimpan Dana
a.       Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
b.      Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

G.   Perkembangan Bank Unit Syariah di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.

Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.
H.   Contoh Bank Unit Syariah
Ada 13 Bank Syariah di Indonesia. Berikut adalah daftarnya:
1.      Bank BNI Syariah
2.      Bank BRI Syariah
3.      Bank Maybank Syariah Indonesia
4.      Bank Mega Syariah Indonesia
5.      Bank Muamalat Indonesia
6.      Bank Syariah Bukopin
7.      Bank Syariah Mandiri
8.      Bank Victoria Syariah
9.      Pan Indonesia Bank Syariah
10.  CIMB Niaga Syariah
11.  OCBC NISP Syariah
12.  Bank Danamon Syariah
13.  Bank Riau Kepri Syariah
14.  BCA Syariah
15.  Bank BJB Syariah
16.  Bank Permata Syariah

I.   Upaya BI Mendorong Bank Unit Syariah
B I mendorong Bank Syariah untuk aktif di PUAS (pasar uang antar bank bedasarkan prinsip syariah). Hal ini dilakukan karena BI melihat adanya kecenderungan Bank Syariah yang masih mengandalkan Bank Sentral maupun Bank Induknya dalam menangani masalah likuiditas.
Menurut data Bank Indonesia, dari 34 bank syariah (11 bank umum syariah/BUS dan 23 unit usaha syariah/UUS) yang pernah bertransaksi di PUAS hanya enam hingga tujuh bank saja yang aktif melakukan transaksi di PUAS tiap hari. Porsi penanaman dana oleh perbankan konvensional masih mendominasi dan trennya meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2008, porsi penanaman konvensional 37%, tahun 2009 sebesar 49%, dan tahun 2010 sebesar 65%.
Namun dari segi volume, transaksi PUAS mengalami peningkatan. Pada 2008, volume rata-rata harian sebesar 113 miliar, tahun 2009 menjadi Rp 145 miliar, dan tahun 2010 sudah mencapai Rp 154 miliar dengan kisaran volume antara Rp 3 miliar sampai Rp 692 miliar.
Saat ini memang lebih banyak bank syariah yang bertransaksi untuk mencari likuidItas ke induknya sendiri yang konvensional. Nah, ini menjadi tantangan BI ke depan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar