A.
Pengertian
Bank Unit Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan Bank Unit Syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh
larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau
yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang
dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi
makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak
dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Didalam Bank Unit Syariah
lebih menggunakan hukum islam seperti yang di bawah ini :
1.
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai
yang berbeda dari nilai
pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan
dan kerugian sebagai
akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3.
Islam tidak memperbolehkan
"menghasilkan uang dari uang". Uang
hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena
tidak memiliki nilai intrinsik.
4.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi)
tidak diperkenankan. Kedua
belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka
peroleh dari sebuah transaksi.
5.
Investasi hanya boleh diberikan pada
usaha-usaha yang tidak
diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh
didanai oleh perbankan syariah.
B.
Asal Mula
Bank Unit Syariah
Perbankan
syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan nama islam, karena
adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil
bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di
kota Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan
saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang
tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada
usaha-usaha perdagangan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan
membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada
tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank
komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan
rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank kemudian
berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam
Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar
pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di
negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan
profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan
diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun
1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara
lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977),
Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Di
Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit
presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings
Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan
ibadah haji.
Di Indonesia pelopor perbankan
syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan
dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga
ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan
suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan
menghasilkan laba.
C.
Tujuan Bank
Unit Syariah
Sebagaimana halnya dengan bank
konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara
(intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi
yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang
mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank kelebihan dana-dana
tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan
manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan
peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para
pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga
yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang
memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu.
Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dan
debitur
Berbeda dengan bank konvensional,
hubungan antara Bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur
dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al
maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba Bank
Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang
saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada
nasabah menyimpan dana.
Dengan demikian kemampuan manajemen
untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola
investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan
kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan
laba.
D.
Struktur
Organisasi Bank Unit Syariah
Pada umumnya strukutur organisasi
tiap Bank itu berbeda tergantung pada besar-kecilnya bank, keragaman layanan
yang ditawarkan, keahlian personilnya dan peraturan-peraturan
perundangan-undangan yang berlaku. Tidak ada acuan baku bagi penyusunan
struktur organisasi bagi bank dalam segala situasi kebutuhan operasinya. Bank
mengorganisasikan fungsi-fungsinya untuk melayani nasabahnya atau menempatkan
karyawan yang ada atau karyawan baru sesuai dengan bakat dan kemampuanya.
Struktur organisasi setiap bank berikut tanggung jawab dan wewenang para
pejabatnya bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu struktur organisasi
mencerminkan pandangan manajemen tentang cara yang paling efektive untuk
mengoperasikan bank. Sejalan dengan perkembangannya
fungsi-sungsi tersebut dapat dibagi-bagi dalam beberapa kegiatan. Dalam
perbankan syariah, fungsi pembiayaan dapat dibagi dalam pembiayaan piutang
(debt financing) berdasarkan prinsip jual-beli (murabahah, salam atau
istishna), atau sewa-beli (ijarah), pembiayaan modal (equity financing)
berdasarkan prinsip mudharabah (trustee financing) atau musyarakah (jount
venture profit sharing). Fungsi operasi dapat dibagi dalam tellers, pembukaan
rekening (opening new account), penerimaan simpanan (deposit), pemrosesan
simpanan (deposit) dan layanan yang berkaitan dengan simpanan (deposit related
services) seperti pemindah – bukuan, pengiriman uang (money transfer), inkaso
(collections), pembayaran tagihan (bill paying) dan lain, komputer service dan
akuntansi, personalia dan sundries.
Elemen Kunci :
1. SPESIALISASI
PEKERJAAN
Spesialisasi kerja, atau pembagian
kerja untuk mendeskripsikan sampai tingkat mana tugas dalam organisasi
dipecah-pecah menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah. Hakikat spesialisasi
kerja adalah bahwa, bukannya keseluruhan pekerjaan dilakukan oleh satu
individu, seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah dengan
tiap langkah diselesaikan oleh individu yang berlainan. Bahwa adanya
spesialisasi pekerjaan yang dilakukan agar manajemen dalam perusahaan itu lebih
mudah untuk dilakukan misalnya pada Departemen Direktorat Pembiayaan Komersial
& Konsumer ada spesialisasi pekerjaan lagi menjadi Divisi Pembiayaan Kecil,
Mikro & Program; Divisi Pembiayaan Konsumer; Divisi Pembiayaan Komersial
cabang dan Divisi Pengembangan Produk sehingga bisa meningkatkan produktivitas
kerja.
2. DEPARTEMENTALISASI
Departementalisasi adalah
pengelompokkan pekerjaan-pekerjaan sehingga tugas yang sama / mirip dapat
dikoordinasikan. Salah satu cara paling popular yang dilakukan untuk
mengelompokkan pekerjaan adalah menurut fungsi yang dijalankan. Keunggulan
utama dari tipe pengelompokkan ini adalah tercapainya efisiensi dengan
mengumpulkan spesialis yang sama. Departementalisasi fungsional mengusahakan
tercapainya skala ekonomi dengan menempatkan orang dengan keterampilan dan
orientasi yang sama ke dalam unit-unit bersama. Bahwa adanya Departementalisasi
yang dilakukan antara lain Departemen Direktorat Pembiayaan
Koperasi&Komersial; Departemen Direktorat Pembiayaan Komersial &
Konsumer; Departemen Direktorat Treasury & Jaringan; Departemen Direktorat
Kepatuhan & Manajemen Resiko; Departemen Direktorat Operasi &
Pendukung.
3. RANTAI
KOMANDO
Rantai Komando merupakan garis
wewenang yang tidak terputus yang terentang dari puncak organisasi ke eselon
terbawah dan memperjelas siapa melapor ke siapa. Rantai ini menjawab pertanyaan
para karyawan seperti misalnya “Kepada siapakah saya harus pergi jika saya
mempunyai masalah?” dan “Saya bertanggung jawab kepada siapa?”. Kita tidak
dapat membahas rantai komando tanpa membahas dua konsep komplementer, wewenang
dan kesatuan komando. Wewenang mengacu ke hak-hak yang inheren dalam posisi
manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah itu dipatuhi. Asas
kesatuan komando membantu mengamankan konsep garis wewenang yang tidak
terputuskan.
4. RENTANG
KENDALI
Rentang kendali ini sangatlah
penting, karena sangat menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus
dimiliki oleh organisasi. Bila semua hal sama, makin luas atau besar rentang
itu, makin efisien organisasi itu. Rentang yang kecil ada keuntungannya. Dengan
menyelenggarakan rentang kendali dari tiga atau empat karyawan, manajer dapat
menyelenggarakan pengendalian yang ketat. Tetapi rentang yang kecil mempunyai
tiga kekurangan utama. Pertama, rentang ini mahal karena menambah
tingkat-tingkat manajemen. Kedua, rentang ini membuat komunikasi vertical dalam
organisasi menjadi lebih rumit. Tingkat-tingkat hierarki tambahan memperlambat
pengambilan keputusan dan cenderung mengucilkan manajemen atas. Ketiga, rentang
kendali yang kecil mendorong penyeliaan ketat yang berlebihan dan tidak
mendorong otonomi karyawan.
5. SENTRALISASI
dan DESENTRALISASI
Sentralisasi mengacu pada sampai tingkat mana pengambilan keputusan
dipusatkan pada titik tunggal dalam organisasi. Lazimnya, dikatakan bahwa jika
manajemen puncak mengambil keputusan utama organisasi dengan sedikit atau tanpa
masukan dari personil tingkat lebih bawah, organisasi itu tersentralisasikan.
Sebaliknya, makin banyak personil tingkat lebih bawah memberikan masukan atau
sebenarnya diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan makin ada
desentralisasi.
6. FORMALISASI
Formalisasi mengacu pada tingkat dimana pekerjaan di dalam organisasi itu
dibakukan. Jika pekerjaan sangat diformalkan, pelaksana pekerjaan itu mempunyai
kuantitas keleluasaan yang minimum mengenai apa yang harus dikerjakan, kapan
harus dikerjakan, dan bagaimana seharusnya ia mengerjakannya. Di mana terdapat
formalisasi yang tinggi, di situ terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak
aturan organisasi, dan prosedur yang terdefinisi dengan jelas yang meliputi
proses kerja dalam organisasi.
E. Bank
Konvensional VS Bank Unit Syariah
karakteristik yang spesifik dari
transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku
bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko
pasar yang dihadapi bank syari’ah. Untuk lebih jelasnya maka akan diuraikan pada
Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang
terdapat pada perbankan, antara lain:
1.
Risiko Kredit (credit risk)
Adalah
risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada
bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut
pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank
umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah
ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh
sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada
perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko
kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional. Oleh
sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Mekanisme
seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi
spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah
mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah
kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi)
lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).
2.
Risiko Pasar
Risiko
yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang
dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah
suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar
dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko
pasar.
3.
Risiko Likuiditas
Risiko
antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh
tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan
liabilitas.
Pada
bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara
titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional
dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti
kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya,
akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah
membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan
pengendapan dana.
4.
Resiko Operasional (operational risk)
Menurut
definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya
sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan
kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan
manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya
proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang
mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara
bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional.
5.
Risiko Hukum
Risiko
yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis
antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak
terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan
antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.
6.
Risiko Reputasi
Risiko
yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan
usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko
reputasi.
7.
Risiko Strategic
Risiko
yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang
tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang
responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko
strategic.
8.
Risiko Kepatuhan
Risiko
yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang
cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan
risiko kepatuhan.
F. Keuntungan dan Kelemahan Bank Unit Syariah
Kendati
secara prinsip bank syariah memiliki kelebihan, namun dalam realitasnya bank
syariah menghadapi beberapa kendala dan kelemahan yang memang harus diakui
perlu pembenahan dan peningkatan secara kualitas dan kuantitas. Dan kelemahan
yang sering dihadapi oleh Bank Unit Syariah adalah sebagai berikut:
1.
Masalah
jaringan kantor layanan.
2.
Jasa layanan
dan inovasi produk. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta mudah menjangkau
seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka tidak merasa punya perbedaan dengan
layanan dari perbankan konvensional.
3.
Masih
terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai kegiatan usaha jasa keuangan syariah
[bank, asuransi, dana pensiun, reksa dana dan indeks syariah].
4.
Masih
terbatasnya jaringan kantor cabang jasa keuangan syariah.
5.
Masih belum
lengkapnya peraturan dan ketentuan pendukung kegiatan usaha jasa keuangan
syariah seperti standar akuntansi, standar prinsip kehati-hatian, standar fatwa
produk investasi syariah serta peraturan dan ketentuan pendukung lainnya.
6.
Masih
terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keterampilan teknis jasa keuangan
syariah.
Pertumbuhan setiap bank sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik
berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai
lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa
dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain, bank
menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Dalam pandangan syariah uang
bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai
pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan
perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli
apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang
harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities),
baik secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industri
manufaktur, sewa-menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui
penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha
tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank
Syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk :
1.
Titipan
(wadiah)
Dana titipan adalah dana pihak
ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada
umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan
dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya
sewaktu-waktu. Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut
:
a. Menggunakan buku (passbook) atau
kartu ATM
b. Besarnya setoran pertama dan
salbo minimum yang harus mengendap tergantung pada kebijakan masing-masing bank
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa
saja dan kapan saja
d. Tipe rekening :
1)
Rekening
perorangan,
2)
Rekening
bersama (dua orang atau lebih),
3)
Rekening
organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
4)
Rekening
perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
5)
Rekening
jaminan (untuk menjamin pembiayaan)
e. Pembayaran bonus (hibah)
dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
2.
Kuasi
Ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagi hasil
atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahib
al maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan
pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan
yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah
disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan
pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan. Berdasarkan
prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi
para investor berupa :
·
Rekening investasi umum, dimana bank menerima
simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam
bentuk Investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unresrtricted
investment account). Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank
dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan
seterusnya.
·
Rekening investasi khusus, di mana bank
bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau
lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana
mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui
atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah
muqayyadah (restricted investment account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian
keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus.
·
Rekening Tabungan Mudharabah, Prinsip mudharabah
juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat
mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam
jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu tabungan
mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah.
·
Tidak seperti bank konvensional, Bank Syariah
tidak menjamin pembayaran kembali nilai nominal dari investasi mudharabah. Bank
Syariah juga tidak menjamin keuntungan atas investasi mudharabah. Mekanisme
pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas investasi mudharabah
tergantung pada performance dari bank, berlainan dengan bank konvensional yang
menjamin keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan
mengabaikan performancenya.Investasi khusus (special investment account /
mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk
memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya
mengambiil resiko atas investasi itu. (demikian beberapa keuntungan dan resiko
Bank Syariah).
3.
Modal Inti
Modal ini adalah dana modal sendiri
yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada
umumnya dana modal inti terdiri dari:
a.
Modal yang disetor oleh para pemegang saham
Sumber
utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul
apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan
untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan
dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan, yaitu sebagian laba
bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian
di kemudian hari
c. Laba ditahan, yaitu sebagian laba
yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang
saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam
kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana
modal lebih lanjut.
Sumber-sumber dana tersebut juga akan
dialokasikan kedalam beberapa pos penggunaan dana Bank. Bank harus
mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan
rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan. Alokasi ini
mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Mencapai tingkat profitabilitas
yang cukup dan tingkat resiko yang rendah
2. Mempertahankan kepercayaan
masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk mencapai kedua keinginan
tersebut maka alokasi dana-dana bank harus diarahkan sedemikian rupa agar pada
saat diperlukan semua kepentingan nasabah dapat terpenuhi.
Alokasi penggunaan dana bank syariah
pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
(1) Earning Assets (aktiva yang
menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang
tidak menghasilkan)
Earning Assets adalah berupa
investasi dalam bentuk:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (Mudharabah)
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan (Musyarakah)
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip
jual beli (Al Bai’)
d.
Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah
Muntahiah bi Tamlik)
e. Surat-surat berharga syariah dan
investasi lainnya.
Bank Unit Syariah pun memiliki
beberapa jasa lainnya antara lain adalah :
Beberapa produk jasa yang disediakan
oleh bank berbasis syariah antara lain:
1.
Jasa
Peminjaman Dana
a. Mudhorobah, adalah perjanjian antara
penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi
menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh
pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan
penyalahgunaan.
b. Musyarokah (Joint Venture), konsep
ini diterapkan pada model partnership atau joint venture.
c. Murobahah , yakni penyaluran dana
dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna
jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan
sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut.
2.
Jasa
Penyimpan Dana
a.
Wadi'ah
(jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil
dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban,
namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat
Indonesia-Shahibul Maal.
b.
Deposito
Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu.
Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan
antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
G. Perkembangan
Bank Unit Syariah di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah.
Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank
syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya
bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah
menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah
krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008,
lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan,
kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga,
peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari
keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan
menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan
dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu
memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat
menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar
tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu
perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan
perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum
konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi
sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan
respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no. 10 tahun
1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas
landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan
diimplementasikan oleh bank syariah.
Perkembangan asset perbankan syariah
meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir tahun
2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai
peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat
dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK)
yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank
syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio
perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan
yang disalurkan selama bulan maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak
ketiga.
Yang perlu
di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari
DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing
Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni
hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen.
Artinya bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain
itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.
H.
Contoh Bank
Unit Syariah
Ada 13 Bank
Syariah di Indonesia. Berikut adalah daftarnya:
1.
Bank BNI
Syariah
2.
Bank BRI
Syariah
3.
Bank Maybank
Syariah Indonesia
4.
Bank Mega
Syariah Indonesia
5.
Bank
Muamalat Indonesia
6.
Bank Syariah
Bukopin
7.
Bank Syariah
Mandiri
8.
Bank
Victoria Syariah
9.
Pan
Indonesia Bank Syariah
10. CIMB Niaga
Syariah
11. OCBC NISP
Syariah
12. Bank Danamon
Syariah
13. Bank Riau
Kepri Syariah
14. BCA Syariah
15. Bank BJB
Syariah
16. Bank Permata
Syariah
I.
Upaya BI
Mendorong Bank Unit Syariah
B I mendorong Bank Syariah untuk
aktif di PUAS (pasar uang antar bank bedasarkan prinsip syariah). Hal ini
dilakukan karena BI melihat adanya kecenderungan Bank Syariah yang masih
mengandalkan Bank Sentral maupun Bank Induknya dalam menangani masalah
likuiditas.
Menurut data Bank Indonesia, dari 34
bank syariah (11 bank umum syariah/BUS dan 23 unit usaha syariah/UUS) yang
pernah bertransaksi di PUAS hanya enam hingga tujuh bank saja yang aktif
melakukan transaksi di PUAS tiap hari. Porsi penanaman dana oleh perbankan
konvensional masih mendominasi dan trennya meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2008, porsi penanaman konvensional 37%, tahun 2009 sebesar 49%, dan tahun
2010 sebesar 65%.
Namun dari segi volume, transaksi
PUAS mengalami peningkatan. Pada 2008, volume rata-rata harian sebesar 113
miliar, tahun 2009 menjadi Rp 145 miliar, dan tahun 2010 sudah mencapai Rp 154
miliar dengan kisaran volume antara Rp 3 miliar sampai Rp 692 miliar.
Saat ini memang lebih banyak bank
syariah yang bertransaksi untuk mencari likuidItas ke induknya sendiri yang
konvensional. Nah, ini menjadi tantangan BI ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar